Jakarta, CNBC Indonesia- Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih terus bergerak di atas level Rp 16.100 per dolar AS, sehari setelah Bank Indonesia mengumumkan kenaikan suku bunga acuan BI Rate menjadi sebesar 6,25%.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,22% di angka Rp 16.185/US$ pada hari ini (25/4/2024). Posisi ini berbanding terbalik dengan pelemahan yang terjadi kemarin (24/4/2024) sebesar 0,4%.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah telah delapan hari berturut-turut bergerak di level atas Rp 16.000 per dolar AS, sejak 16 April 2024. Sebelum itu, rupiah masih terus diperdagangkan di level kisaran Rp 15.000.
Lantas, dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang terus terjadi apakah akan menjadi pertanda krisis moneter 1998 terulang?
Mengutip Special Report LPEM FEB UI edisi April 2024 berjudul “Depresiasi Rupiah, Perlukah Panik?” terdapat pembahasan terkait serupa tidaknya kondisi pelemahan rupiah saat ini dengan saat krisis keuangan Asia 1998 atau yang kerap dikenal dengan istilah Krismon. Kajian ini ditulis Nauli A. Desdiani, Zahan Pricillia, dan Jahen F. Rezki.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa depresiasi rupiah 2024 ini tidak akan sedalam seperti yang terjadi pada saat krisis keuangan Asia di 1998, krisis keuangan global di 2008, maupun krisis akibat pandemi 2020, yang meningkat pesat namun pada akhirnya kembali ke level alamiahnya.
Menurut LPEM FEB UI, kondisi pelemahan rupiah saat ini lebih mirip kondisi saat terjadinya taper tantrum pada 2013, 2018, dan 2022. Taper tantrum adalah keadaan gejolak ekonomi dunia akibat kebijakan bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) memperketat kebijakan moneternya.
“Kondisi pelemahan Rupiah kali ini mirip seperti kejadian taper-tantrum 2013, 2018, dan 2022,” tulis tim penulis Special Report LPEM FEB UI, Kamis (25/4/2024).
LPEM FEB UI menganggap, pergerakan Rupiah sangat didominasi oleh sentimen pergerakan suku bunga the Fed, situasi geopolitik dan perekonomian global. Hal ini perlu diantisipasi karena meskipun tidak melemah secara drastis, namun pada umumnya depresiasi Rupiah yang terjadi ketika periode pengetatan suku bunga AS membuat nilai mata uang persisten naik dan mencetak level alamiah yang baru.
“Apa yang terjadi saat ini, sebetulnya merupakan implikasi lanjutan dari kebijakan the Fed yang masih bertahan pada tingkat suku bunga kebijakan tertingginya sejak Juli 2023, tentu diperparah dengan situasi konflik yang terjadi di Timur Tengah,” tulis LPEM FEB UI dalam laporannya.
Yang membedakan kondisi saat ini dan saat krismon 1998 terletak pada kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Menurut LPEM FEB UI, saat ini demikian, fundamental makroekonomi Indonesia secara keseluruhan masih kuat dan solid dengan pertumbuhan ekonomi berada di atas 5 persen dan inflasi yang masih terjaga stabil di kisaran target.
Bahkan, mereka mengutip penilaian lembaga pemeringkat utang Moody’s per 17 April, yang menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat stabil Baa2 sebagai negara layak tujuan investasi.
Artikel Selanjutnya
Penyebab Dolar Tembus Rp15.800: AS Hingga Sengketa Pemilu di MK
(arm/mij)