Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah berhasil ditutup menguat pada perdagangan Kamis (2/5/2024), setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) kembali menahan suku bunga acuannya dan belum akan memangkasnya dalam waktu dekat.

Dilansir dari Refinitiv pada pukul 15:05 WIB, rupiah ditutup menguat 0,46% di angka Rp 16.180/US$, membalikkan posisi pada Selasa lalu yang ditutup melemah sekaligus mengakhiri koreksinya selama empat hari beruntun.

Penguatan rupiah terjadi di tengah melandainya indeks dolar AS (DXY). Per pukul 15:05 WIB, indeks dolar melandai 0,12% menjadi 105,633.


Rupiah menguat meski bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengindikasikan belum akan memangkas suku bunga acuannya dalam waktu dekat. Hal ini terjadi setelah The Fed kembali menahan suku bunga acuannya di level 5,25-5,50%. Ini menjadi keenam kalinya secara beruntun pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia (2/5/2024).

Suku bunga yang tinggi ini tampaknya akan terus bertahan di level tersebut mengingat inflasi AS yang belum mendekati target The Fed yakni 2%.

“Sejauh ini, data yang ada tidak membuat kami lebih percaya diri. Sepertinya butuh waktu lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya untuk membuat kami lebih yakin. Kami akan tetap mempertahankan suku bunga seperti saat ini selama mungkin jika diperlukan,” tutur Powell dalam konferensi pers, dikutip dari CNBC International.

Kendati belum mengisyaratkan pemangkasan, The Fed memberi kode keras soal kemungkinan kenaikan suku bunga.

Powell menegaskan jika The Fed tidak berencana untuk mengerek suku bunga tahun ini. Pernyataan tersebut menghapus ekspektasi sebagian pelaku pasar yang semula melihat ada peluang kenaikan kembali suku bunga The Fed.

“Saya rasa tidak mungkin kenaikan suku bunga ada dalam kebijakan ke depan. Saya tegaskan tidak mungkin,” ujarnya.

Selain kebijakan suku bunga, The Fed dalam FOMC dini hari tadi juga mengumumkan jika mereka akan memperlambat pengurangan (tapering) quantitative easing (QE). Kebijakan tersebut akan berlaku pada 1 Juni 2024.

Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia pada Maret 2020, The Fed menerapkan kebijakan program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. QE membuat neraca The Fed melonjak menjadi nyaris US$ 9 triliunatau sekitar Rp 146.295 triliun (kurs US$1= 16.255).

Neraca mereka sudah berkurang jauh dari hampir US$ 9 triliun pada Juni 2022 menjadi US$ 7,4 triliun seperti saat ini. Besarnya nilai neraca tersebut yang dikurangi oleh The Fed. Artinya obligasi yang dimiliki akan dilepas sehingga menyerap kembali likuiditas.

Nilai QE tersebut sudah dikurangi (tapering) sejak November 2021. Pembelian aset semula hanya dipangkas US$ 15 miliar yakni US$ 10 miliar untuk obligasi pemerintah dan US$ 5 miliar untuk aset beragun kredit properti (mortgage-backed securities).

Pemangkasan diperbesar menjadi US$ 105 miliar pada Desember 2021.

Dalam rapat FOMC kemarin, The Fed menyepakati nilai tapering akan diperkecil dari US$ 60 miliar per bulan (Rp 975,3 triliun) menjadi US$ 25 miliar per bulan (Rp 406,38 triliun) pada 1 Juni mendatang. Pemangkasan mortgage-backed securities tetap maksimal US$ 35 miliar

Dengan mengurangi pembelian aset, The Fed berkontribusi pada higher for longer. Pasalnya, jika mereka melepas kepemilikan obligasi ke pasar maka ada buyer yang membelinya dan bunga tinggi dibutuhkan untuk menarik pembeli.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Rupiah Terpuruk Saat Sidang Gugatan Pilpres, Dolar Nyaris Rp15.900!


(chd/chd)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *