Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah kembali melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (28/5/2024), meski dolar AS masih cenderung merana hingga perdagangan Senin kemarin.
Berdasarkan data Refinitiv pada pukul 09:00 WIB, rupiah dibuka turun tipis 0,03% ke posisi Rp 16.065/US$. Rupiah masih berada di level psikologis Rp 16.000/US$ pada pagi hari ini.
Sebelumnya pada penutupan perdagangan Senin kemarin, rupiah ditutup melemah 0,44% di posisi Rp 16.060/US$, menjadi yang terparah di Asia.
Rupiah kembali melemah meski indeks dolar (DXY) masih cenderung turun. Pada penutupan perdagangan Senin, indeks dolar melemah 0,12% menjadi 104,47.
Rupiah melanjutkan koreksinya yang sudah terjadi sejak 17 Mei lalu. Bahkan kemarin, rupiah menjadi yang paling buruk di antara mata uang Asia lainnya.
Hal ini karena rupiah masih terbebani oleh sikap hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), yang berpotensi membuat dolar AS masih perkasa hingga beberapa hari kedepan.
Dalam risalah Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) minutes bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang dirilis pada pekan lalu, menunjukkan kekhawatiran dari para pengambil kebijakan tentang kapan saatnya untuk melakukan pelonggaran kebijakan.
Pertemuan tersebut menyusul serangkaian data yang menunjukkan inflasi masih lebih tinggi dari perkiraan para pejabat the Fed sejak awal tahun ini. Sejauh ini, The Fed masih menargetkan inflasi melandai 2%.
“Para pejabat mengamati bahwa meskipun inflasi telah menurun selama setahun terakhir, namun dalam beberapa bulan terakhir masih kurang ada kemajuan menuju target 2%,” demikian isi risalah the Fed.
Risalah juga menjelaskan bahwa “Sebagian pejabat menyatakan kesediaannya untuk memperketat kebijakan lebih lanjut guna mengatasi risiko inflasi yang masih panas”.
Hal ini pada akhirnya menekan rupiah karena indeks dolar AS (DXY) berpotensi terus berada di level yang cukup tinggi setidaknya dalam beberapa waktu ke depan.
Pada pekan ini, pelaku pasar masih menanti sejumlah pidato dari para pejabat Federal Open Market Committee (FOMC) mengenai kisi-kisi kebijakan The Fed sebagai acuan bagi para pelaku pasar untuk memprediksi keputusan suku bunga AS periode berikutnya. Namun sejauh ini, sebagian besar masih bersikap hawkish.
Sementara itu, dari domestik, pasar potensi dipengaruhi oleh rancangan awal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sudah dibacakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada Senin kemarin.
Adapun asumsi makro ekonomi yang diusulkan yakni pertumbuhan ekonomi di 2025 yang diprediksi di sekitar 5,1%-5,5%, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara acuan tenor 10 tahun berada di level 6,9%-7,3%, nilai tukar rupiah berkisar Rp 15.300/US$-Rp 16.000/US$, inflasi RI di 2025 berkisar 1,5%-3,5%.
Berikutnya ICP berkisar US$ 75-85 per barel, lifting minyak berkisar 580.000 bph-601.000 bph, dan lifting gas berada di sekitar 1,003-1,047 juta bsmph.
Masih dari dalam negeri, pasar domestik masih akan diliputi musim dividen, di mana khusus pada hari ini, masih ada sembilan emiten yang melewati periode cum date. Hal ini berisiko memicu tekanan dana keluar lantaran ada repatriasi dari dividen.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Artikel Selanjutnya
Rupiah Terpuruk Saat Sidang Gugatan Pilpres, Dolar Nyaris Rp15.900!
(chd/chd)