Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah kembali ambruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) menembus ke atas level Rp16.000/US$ setelah risalah the Fed belum menunjukkan adanya potensi penurunan suku bunga.

Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 16.060/US$ di pasar spot, melemah 0,44% di hadapan dolar AS.

Pelemahan rupiah ini menjadi perhatian karena ini menjadi kali pertama sejak 15 Mei 2024, rupiah bertengger di atas level Rp16.000/US$.


Depresiasi rupiah kemarin bahkan menjadi yang paling parah di antara mata uang Asia lainnya. Koreksi masih terkait dengan risalah Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) minutes bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menunjukkan kekhawatiran dari para pengambil kebijakan tentang kapan saatnya untuk melakukan pelonggaran kebijakan.

Pertemuan tersebut menyusul serangkaian data yang menunjukkan inflasi masih lebih tinggi dari perkiraan para pejabat the Fed sejak awal tahun ini. Sejauh ini, The Fed masih menargetkan inflasi melandai 2%.

“Para pejabat mengamati bahwa meskipun inflasi telah menurun selama setahun terakhir, namun dalam beberapa bulan terakhir masih kurang ada kemajuan menuju target 2%,” demikian isi risalah the Fed.

Risalah juga menjelaskan bahwa “Sebagian pejabat menyatakan kesediaannya untuk memperketat kebijakan lebih lanjut guna mengatasi risiko inflasi yang masih panas”.

Hal ini pada akhirnya menekan rupiah karena indeks dolar AS (DXY) berpotensi terus berada di level yang cukup tinggi setidaknya dalam beberapa waktu ke depan.

Pada pekan ini, pelaku pasar masih menanti sejumlah pidato dari para pejabat Federal Open Market Committee (FOMC) mengenai kisi-kisi kebijakan The Fed sebagai acuan bagi para pelaku pasar untuk memprediksi keputusan suku bunga AS periode berikutnya. Namun sejauh ini, sebagian besar masih bersikap hawkish.

Sementara itu, dari domestik, pasar potensi dipengaruhi oleh rancangan awal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sudah dibacakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada kemarin, Senin (27/5/2024).

Adapun asumsi makro ekonomi yang diusulkan yakni pertumbuhan ekonomi di 2025 yang diprediksi di sekitar 5,1%-5,5%, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara acuan tenor 10 tahun berada di level 6,9%-7,3%, nilai tukar rupiah berkisar Rp 15.300/US$-Rp 16.000/US$, inflasi RI di 2025 berkisar 1,5%-3,5%.

Berikutnya ICP berkisar US$ 75-85 per barel, lifting minyak berkisar 580.000 bph-601.000 bph, dan lifting gas berada di sekitar 1,003-1,047 juta bsmph.

Masih dari dalam negeri, pasar domestik masih akan diliputi musim dividen, di mana khusus pada hari ini, Selasa (28/5/2024) ada sembilan emiten yang melewati periode cum date. Hal ini berisiko memicu tekanan dana keluar lantaran ada repatriasi dari dividen.

Teknikal Rupiah

Dengan pelemahan rupiah yang menembus ke atas level psikologis Rp16.000/US$, tren pergerakan secara teknikal mata uang Garuda menjadi lanjut melemah.

Potensi pelemahan masih bisa berlanjut, paling tidak ke resistance terdekat di Rp16.130/US$ yang berasal dari high candle intraday pada 14 Mei 2024. Sementara itu, jika ada penguatan atau pembalikan arah bisa dicermati posisi support terdekat di Rp15.950/US$ yang diambil dari low candle intraday pada 17 Mei 2024.




Pergerakan rupiah melawan dolar ASFoto: Tradingview
Pergerakan rupiah melawan dolar AS

CNBC INDONESIA RESEARCH

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Prabowo Menang Quick Count, Bagaimana Nasib Rupiah Hari Ini?


(tsn/tsn)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *