Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonomi global kembali dilanda sejumlah tantangan besar dan menjegal proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid. Ketidakpastian global selama dua tahun terakhir timbul akibat ekonomi negara-negara maju kembali terpuruk karena meningkatnya ketegangan geopolitik.
Invansi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 melumpuhkan rantai pasok global hingga melambungkan harga energi yang pada akhirnya menjadi bahan bakar meroketnya inflasi di negara ekonomi maju, dengan negara-negara Eropa menembus angka tertinggi sepanjang sejarah.
Inflasi yang urung turun memaksa bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan The Fed yang secara agresif mendorong aliran likuiditas global keluar dari negara-negara berkembang, mengalir masuk ke instrumen berdenominasi dollar atau emas yang dianggap aman (safe haven).
Belum juga usai masalah sebelumnya, ketegangan geopolitik baru muncul di Timur Tengah yakni pecahnya konflik Hamas dan Israel pada akhir tahun 2023, yang kemudian diperburuk oleh konflik Houthi Yaman dengan Amerika Serikat di jalur perdagangan Laut Merah.
Rupiah Tertekan, Saham Blue Chip Berguguran
Rentetan kondisi global yang menantang membuat rupiah terpuruk hingga menembus Rp. 16.170 pada perdagangan perdana setelah libur panjang lebaran. Pelemahan Rupiah mengikuti trend pelemahan mata uang negara-negara berkembang lain.
Tidak hanya pasar valas, pasar saham juga mengalami keterpurukan. IHSG jatuh ke level 7.164 atau turun 122 poin (1,67%) dibandingkan angka penutupan bursa sebelum libur lebaran. Pelemahan IHSG terus berlanjut hingga sampai ke level 7.036.
Saham-saham berguguran, termasuk saham blue chip penopang index lintas sektor seperti perbankan, energi, manufaktur dan telekomunikasi. Harga saham bank-bank besar seperti BCA, Mandiri, BRI dan BNI yang merangkak naik sejak akhir tahun 2023 dan terbang tinggi di awal 2024, langsung anjlok akibat meningkatnya ketidakpastian. Begitu pula saham-saham non Bank berkapitalisasi besar.
Saham BCA misalnya yang sebelum libur lebaran sempat menembus angka Rp 10.325 per lembar saham, jatuh ke harga Rp. 9.475 dan mencapai harga terendah Rp 9.350 pada tanggal 22 April. Hal yang serupa terjadi pada saham bank Mandiri, Bank BRI dan Bank BNI.
Sama dengan harga saham perusahaan emiten lainnya, harga saham Telkom juga mengalami tekanan yang luar biasa di tengah badai ketidakpastian yang dipicu oleh meningkatnya konflik di Timur Tengah. Harga saham Telkom atau TLKM terus tertekan. Dalam tiga bulan terakhir harga saham Telkom terkikis 12,6%, sementara kalau dihitung sejak awal tahun atau year to date (ytd) harga saham Telkom anjlok 12,1%.
Piter Abdullah Redjalam, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, menyatakan bahwa jatuhnya harga saham Telkom, sebagaimana jatuhnya harga saham bank BCA dan bank-bank Himbara, lebih disebabkan oleh meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan tidak ada hubungannya dengan kinerja keuangan ataupun fundamental Telkom.
Kinerja keuangan atau fundamental Telkom menurut Piter Abdullah masih sangat baik. Pada kuartal 1 tahun 2024, Telkom mencatatkan pendapatan sebesar Rp37,4 triliun rupiah atau tumbuh 3,7 persen year on year. Sementara EBITDA Telkom tumbuh sebesar 2,2 persen year on year menjadi Rp19,4 triliun dengan laba bersih mencapai 6,1 triliun rupiah.
Piter melihat kinerja Telkom didukung oleh kinerja anak-anak perusahaannya. Pada kuartal 1 tahun 2024, Telkomsel masih menjadi kontributor terbesar pendapatan Telkom. Kinerja Telkomsel cukup mampu mempertahankan profitabilitas dengan tetap mempertahankan dominansi di pasar Mobile.
Anak usaha Telkom yang lainnya, Mitratel, juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 7,3 persen year on year ke Rp2,2 triliun selama kuarta 1 tahun 2024. EBITDA dan Laba Bersih selama kuarta 1 tahun 2024 masing-masing tumbuh sebesar 9,9 persen year on year dan 4,0 persen year on year.
Telin, sebagai anak usaha Telkom yang menyediakan solusi layanan telekomunikasi dan IT di luar negeri, dengan jaringan tujuh anak perusahaan beroperasi aktif di luar negeri, juga menunjukkan kinerja positif yang utamanya dikontribusi oleh bisnis jaringan kabel laut.
Menurut Piter Abdullah, meskipun sama-sama mampu menjaga tingkat keuntungan, kinerja Telkom lebih menarik dibandingkan dengan saham bank.
“Tantangan yang dihadapi oleh Telkom di industri telekomunikasi jauh lebih berat dibandingkan tantangan yang dihadapi BCA dan bank-bank Himbara,” jelas Piter kepada CNBC Indonesia.
Piter menyebut keuntungan bank-bank besar di sektor perbankan itu bukan sepenuhnya hasil kerja keras. Namun, sebagian diuntungkan oleh struktur pasar yang sangat kondusif dengan mencontohkan saja NIM yang begitu tinggi.
“Berbeda dengan apa yang dihadapi Telkom di sektor telekomunikasi. Sector telekomunikasi justru mengalami proses disruption yang menuntut respons yang cepat dan juga tepat. Kegagalan menyusun langkah-langkah transformasi bisa berdampak fatal bagi keberlangsungan Telkom,” lanjut Piter menjelaskan.
Piter berpandangan bahwa Telkom mampu menjaga pertumbuhan pendapatan dan juga tingkat keuntungan lewat transformasi di tengah gelombang disrupsi. Proses transformasi di Telkom dilakukan saat perusahaan masih sehat berlangsung dan berjalan cukup mulus.
Artikel Selanjutnya
Video: Awan Gelap di Timur Tengah, Dunia Terancam “Kiamat”?
(fsd/fsd)