Jakarta, CNBC Indonesia – Para bankir telah mengungkapkan likuiditas kini tengah mengetat, imbas dari tren kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang tengah tinggi. BI Rate telah naik pada April 2024 sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6,25%.
Lantas, dengan ketatnya likuiditas perbankan saat ini, apakah lembaga pemeringkat seperti Moody’s akan menurunkan rating mereka?
Senior Vice President Moody’s Ratings Eugene Tarzimanov mengatakan, dalam menentukan rating suatu perbankan, Moody’s tidak hanya melihat kondisi likuiditas mereka. Melainkan, banyak faktor seperti kemampuan untuk menyalurkan kredit dengan pengelolaan likuiditas yang baik meski tengah mengetat.
“Pemeringkatan berfokus pada beberapa faktor dan likuiditas bukanlah satu-satunya faktor,” kata Eugene dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Senin (13/5/2024).
Bagi Moody’s, Eugene mengatakan, likuiditas yang melimpah tidak hanya menjadi pertimbangan untuk memberikan peringkat terbaik bagi bank. Saat likuiditas mengetat di pasar keuangan, ia menekankan, peringkat bank bisa saja tetap stabil bila bank itu bisa mengurangi porsi kepemilikan surat berharganya demi mengoptimalkan penyaluran kredit untuk mendapatkan profitabilitas yang sehat.
“Jadi jika kita melihat beberapa bank mengelola likuiditasnya dengan lebih agresif, misalnya dengan mengurangi kepemilikan surat berharganya dan meningkatkan jumlah pinjamannya dengan lebih cepat,” tegas Eugene.
Secara keseluruhan Eugene menganggap, kondisi perbankan di Indonesia saat ini kuat dan tangguh menghadapi tekanan suku bunga acuan tinggi dan pelemahan nilai rukar rupiah terhadap dolar AS. Ia menganggap, likuiditas bank-bank di Indonesia juga masih sangat memadai.
Ia mengatakan, ini karena dari sisi permodalan sangat kuat, seiring dengan profitabilitas yang terjaga. Berdasarkan catatan BI, Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank pada level 27,73% pada Februari 2024. Sedikit turun pada Maret 2024 ke level 26% berdasarkan catatan OJK.
“Saya kira fundamental sistem perbankan di Indonesia tetap terjaga. Bank-bank di Indonesia yang memiliki penyangga modal yang kuat, dan profitabilitas yang sangat-sangat tinggi,” ucap Eugene.
Bagi Eugene, tren suku bunga acuan yang tinggi dan pelemahan nilai tukar rupiah memang biasanya membuat penyaluran kredit bank melemah, rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) bank meningkat, hingga hilangnya nilai investasi perbankan.
Namun, bagi bank-bank di Indonesia potensi risiko itu menurutnya dapat diimbangi oleh kecukupan modal yang tinggi hingga profitabilitas yang terjaga selama ini. BI pun mencatat, hingga Februari 2024 rasio NPL rendah sebesar 2,35% (bruto) dan 0,82% (neto), lalu terjaga di level 2,35% (bruto) pada Maret 2024 dan 0,77% (neto).
“Jadi ini adalah buffer yang sangat-sangat tinggi untuk mengimbangi risiko apa pun dengan risiko mata uang asing atau risiko kredit yang mungkin terjadi. Jadi buffernya sangat kuat,” ucap Eugene.
“Dan sebenarnya, sejauh ini, dalam enam bulan terakhir ini, kita telah melihat sejumlah peningkatan pada bank. Dan sekali lagi, hal ini merupakan perkembangan positif bagi sistem perbankan di Indonesia,” tegasnya.
Mengutip catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), profitabilitas bank yang terjaga tercermin dari rasio return on asset (ROA) dan net interest margin (NIM). Per Maret 2024, ROA dan NIM meningkat masing-masing menjadi 2,62% dan 4,59% dari Februari 2024 sebesar 2,52% dan 4,49%.
Kualitas kredit juga OJK catat tetap terjaga dengan rasio NPL net perbankan malah turun menjadi 0,77% pada Maret 2024, dari 0,82% pada Februari 2024. Adapun NPL gross sebesar 2,25% per Maret 2024, dari Februari 2024 yang sebesar 2,35%.
Adapun mengetatnya likuditas bank saat ini tercemin dari menurunnya rasio alat likuid terhadap non core deposit (AL/NCD) menjadi sebesar 121,05% dari sebelumnya 121,98%. Sedangkan alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) menjadi 27,18% dari yang sebelumnya 27,41%.
Terkait pengetatan likuditas perbankan, salah satunya disampaikan Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso. Ia mengatakan suku bunga tinggi berdampak pada persaingan likuiditas perbankan.
“Naiknya suku bunga kita respons sebagai keputusan logis dan rasional. Tinggal tantangan pasti itu akan menyebabkan tantangan di likuiditas,” katanya dalam paparan kinerja kuartal I-2024 belum lama ini.
Sebagai informasi per Maret 2024 rasio kredit terhadap simpanan atau loan to deposit ratio LDR BRI sebesar 83,28%. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, angka tersebut turun 148 basis poin (bps).
Artikel Selanjutnya
Kapan BI Rate Bisa Turun? Ini Jawaban Bos BI!
(arm/mij)