Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berpendapat bahwa tanpa nikel Indonesia, pasar kendaraan listrik Amerika akan terpuruk. Dalam tulisannya di media Amerika Serikat (AS), ia mengatakan RI memiliki cadangan logam terbesar di dunia yang penting bagi baterai electric vehicle (EV).
Luhut menyebut Indonesia mengekspor lebih dari separuh produk nikel dunia pada tahun 2023. Di tahun-tahun mendatang, porsi ini diperkirakan akan meningkat.
Meski demikian, ia menyorot beberapa anggota Kongres AS, yang bekerja sama dengan pesaing asing dari Indonesia, telah memutuskan untuk menghalangi impor nikel olahan dari RI.
“Sejauh ini, mereka berhasil. Namun ketika langkah-langkah yang diambil bersamaan dengan langkah-langkah yang disahkan pada bulan Maret yang memaksa perusahaan-perusahaan untuk beralih dari penjualan kendaraan bertenaga gas, pada akhirnya pekerja otomotif AS-lah yang akan dirugikan,” kata Luhut, dikutip dari Foreign Policy, Jumat (3/5/2024).
Sementara itu, Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) yang dicanangkan oleh Presiden AS Joe Biden telah mengubah situasi secara mendasar. Produsen AS tidak dapat mengakses subsidinya kecuali inputnya berasal dari negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, dan Luhut menyebut Indonesia tidak memilikinya.
“Untuk menjamin pasokan nikel yang diperlukan bagi produsen mobil AS, tahun lalu pemerintah tempat saya menjabat mengusulkan perjanjian perdagangan terbatas yang mencakup mineral-mineral penting,” tulisnya.
Namun sejauh ini, belum ada kesepakatan yang dicapai negeri Paman Sam, usai kelompok bipartisan senator AS dan perusahaan-perusahaan di negara-negara penghasil nikel seperti Australia melakukan kampanye untuk menggagalkan usulan itu.
Luhut memandang, keberatan para senator cenderung terfokus pada permasalahan lingkungan. Dalam hal ini, banyak smelter di Indonesia yang menggunakan bahan bakar batu bara. Sebagian orang menganggap baterai yang mengandung nikel olahan tersebut akan didiskreditkan, meskipun ada manfaat karbon bersih dari penghentian mesin pembakaran di jalan raya.
“Kemurnian iklim seperti itu menimbulkan kelembaman dan pada akhirnya merugikan diri sendiri. Pertukaran lingkungan sama pentingnya dengan transisi ramah lingkungan seperti halnya nikel terhadap baterai yang akan menggerakkannya,” tegas Luhut.
Ia berpendapat bahwa AS perlu mulai menggunakan lebih banyak karet bertenaga Listrik, agar dapat mencapai pengurangan emisi yang signifikan. Adapun sektor transportasi adalah penghasil emisi terbesar di sana, sementara kurang dari 1% kendaraan di AS adalah kendaraan listrik.
“Penerapannya secara luas akan bergantung pada keterjangkauan. Input yang lebih murah berarti baterai yang lebih murah. Bebas dari hambatan perdagangan buatan, nikel olahan dari Indonesia memiliki daya saing karena batubara berlimpah di negara ini,” kata Luhut.
Menko Marves RI mengakui bahwa saran itu mungkin tidak ideal. Tetapi, energi terbarukan belum bisa menawarkan biaya yang hemat untuk smelter di Indonesia.
“Daripada menunggu kemajuan teknologi, kita harus menggunakan sumber daya yang kita miliki untuk memurnikan logam penting saat ini,” ajak Luhut.
“Nikel Indonesia akan menjadi lebih ramah lingkungan. Namun, agar hal ini terwujud, pembangunan ekonomi sangatlah penting. Hanya dengan penerimaan ekspor atau investasi asing langsung kita dapat mulai mengkonfigurasi ulang sistem energi.”
Luhut menyebut PT Trimegah Bangun Persada Tbk. (NCKL) atau Harita Nickel sebagai “produsen nikel terbesar di Indonesia,” baru bisa menggunakan energi terbarukan di fasilitasnya, karena keberhasilan ekonominya.
Berkaitan dengan hal itu, inisiatif pemerintah dapat membantu. Luhut mengatakan transisi hijau yang sejati di Indonesia pada akhirnya bergantung pada modal.
Ia memandang uang tunai yang dijanjikan Barat melalui kemitraan Just Transition, yakni mekanisme pendanaan iklim untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara berkembang, tidaklah cukup.
“Terlepas dari apakah janji tersebut benar-benar dilaksanakan atau tidak. Ini bukan seruan untuk mendapatkan uang gratis, melainkan sebuah pernyataan fakta,” terang Luhut.
Menurutnya, negara-negara berkembang harus dibiarkan sejahtera dari sumber daya alam yang mereka miliki. Sehingga mereka dapat berperan aktif dalam transisi ramah lingkungan global.
“Kita tidak bisa dan tidak akan menjadi penonton yang bergantung pada bantuan dari pihak-pihak yang baik hati,” kata Luhut.
Sementara itu, lanjutnya, agar transisi ramah lingkungan dapat mempertahankan dukungan publik terhadap Indonesia, hal ini harus mampu menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan bagi masyarakat. Pada tahun 2020, pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah untuk menjangkau lebih banyak rantai nilai. Investasi telah membanjiri RI.
Menurutnya, kekhawatiran anggota parlemen AS terhadap lingkungan hidup atas usulan perjanjian perdagangan bebas juga didukung oleh ketegangan antara Beijing dan Washington. Padahal, seperti perusahaan-perusahaan AS dan Korea Selatan, perusahaan Tiongkok hadir dalam pemurnian nikel di Indonesia.
“Indonesia mengulurkan tangan untuk bermitra dengan semua pihak. Terserah pada Washington apakah akan berjabat tangan dan menciptakan masa depan yang lebih hijau. Namun negara saya tidak akan menunggu tanpa batas waktu,” ujar Luhut.
Artikel Selanjutnya
Bahlil Ungkap Sosok Mau Jual Negara, Sentil Tom Lembong?
(ayh/ayh)