Jakarta, CNBC Indonesia – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan bahwa kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate yang per April 2024 menjadi 6,25% merupakan pilihan terakhir dari BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sebagaimana diketahui, rupiah saat ini terus bergerak di kisaran atas Rp 16.100 per dolar AS, dan bahkan menembus level terendah di level Rp 16.240 pada 17 April 2024 dalam empat tahun terakhir. Sedangkan berdasarkan data Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,22% di angka Rp 16.185/US$ pada hari ini (25/4/2024).
Mengutip Special Report LPEM FEB UI edisi April 2024 berjudul “Depresiasi Rupiah, Perlukah Panik?” yang ditulis Nauli A. Desdiani, Zahan Pricillia, dan Jahen F. Rezki, disebutkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah saat ini merupakan implikasi lanjutan dari sentimen negatif pelaku pasar keuangan terhadap kebijakan bank sentral AS atau the Fed yang masih bertahan pada tingkat suku bunga kebijakan tertingginya sejak Juli 2023, diperparah dengan situasi konflik yang terjadi di Timur Tengah.
“Namun demikian, fundamental makroekonomi Indonesia secara keseluruhan masih kuat dan solid dengan pertumbuhan ekonomi berada di atas 5 persen dan inflasi yang masih terjaga stabil di kisaran target,” dikutip dari Special Report LPEM FEB UI, Kamis (25/4).
Atas dasar itu, LPEM FEB UI menganggap untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi akibat dampak eksternal tersebut, Bank Indonesia dalam jangka pendek perlu melakukan intervensi dengan berbagai policy-mix. Jika seluruh cara itu tak mampu membuat rupiah bergerak stabil, maka pilihan terakhirnya ialah menaikkan BI Rate.
Adapun kebijakan pertama yang harus ditempuh BI menurut LPEM FEB UI adalah melakukan intervensi pasar melalui pembelian pada pasar obligasi, spot foreign exchange, dan domestic non-deliverable forwards (DNDF). Kebijakan ini bermanfaat untuk mendorong nilai tukar rupiah dan menjadi signaling confidence otoritas moneter terhadap ekspektasi nilai rupiah.
“Dengan komunikasi yang terbuka dan jelas atas arah kebijakan moneter, pasar dapat merespons sesuai dengan ekspektasi kebijakan. Komunikasi yang baik oleh bank sentral melalui penjelasan kebijakan yang diambil yang didukung dengan publikasi model ekonomi mampu mengurangi tingkat ketidakpastian,” tulis LPEM FEB UI.
LPEM FEB UI menganggap pada kasus negara berkembang ditemukan bukti bahwa transparasi bank sentral dapat menurunkan volatilitas nilai tukar.
Setelah itu, kebijakan kedua yang dapat dilakukan yaitu dengan menerbitkan berbagai surat berharga seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) dengan bunga yang lebih kompetitif untuk menarik lebih banyak investor sehingga membantu meningkatkan ketahanan eksternal dari kenaikan inflow.
Beberapa penelitian, menemukan bahwa kebijakan intervensi FX merupakan yang efektif yang dapat mengontrol nilai tukar pada level yang diharapkan secara persisten dan simetris. LPEM FEB UI mengutip kajian berjudul “Effectiveness of FX intervention and the flimsiness of exchange rate expectations” yang menunjukkan pembelian valas asing melalui spot market oleh bank sentral mampu mengurangi volatilitas nilai tukar sebesar 5%.
Walaupun dampak intervensi FX bertahan dalam waktu yang relatif pendek, hanya 2 minggu. Pada konteks Indonesia kombinasi strategi intervensi FX dan pasar derivative melalui open market operation masih merupakan kebijakan yang paling efektif untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Meskipun secara relative, kebijakan intervensi spot memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan intervensi di pasar derivative.
Kemudian, transmisi kebijakan melalui DNDF memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan volatilitas nilai tukar rupiah, setiap US$ 50 juta intervensi berkontribusi pada penurunan volatilitas VIX sebesar 21%. Namun, terbatasnya besaran pasar DNDF mengakibatkan dampak transmisi masih minimal.
Untuk kebijakan ketiga, adalah dengan menggunakan cadangan devisa. Per Maret 2024, posisi cadangan devisa tercatat sebesar US$ 140,4 miliar, atau turun US$ 3,6 miliar jika dibandingkan pada akhir Februari 2024 yang sebesar USD144,0 miliar. Penurunan cadangan devisa ini sebagian digunakan untuk kebutuhan stabilisasi nilai tukar seiring dengan masih tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global.
“Pada April ini, BI perlu kembali melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisanya sebagai alternatif kebijakan stabilisasi nilai tukar, tentu dengan memastikan kecukupan cadangan devisa,” menurut LPEM FEB UI.
LPEM FEB UI menganggap, posisi cadangan devisa per Maret cukup untuk 6,4 bulan pembiayaan impor atau setara dengan 6,2 bulan nilai impor dan pembayaran utang luar negeri. Rasio cadangan terhadap utang luar negeri jangka pendek juga tercatat lebih dari dua kali lipat dari yang direkomendasikan berdasarkan aturan Greenspan-Guidotti. Ini artinya nilai cadangan devisa tersebut berada 2 kali lipat di atas standar kecukupan internasional.
Namun, jika berbagai pilihan kebijakan yang diambil tidak dapat menahan laju tekanan pelemahan rupiah, LPEM FEB UI mengakui bahwa pilihan terakhir atau kebijakan keempat yang BI dapat lakukan adalah dengan meningkatkan besaran suku bunga acuan sebesar 25 basis points, sebagaimana yang telah dilakukan para Dewan Gubernur Bank Indonesia pada bulan ini melalui keputusan RDG.
“Hal diperlukan untuk menjaga real yield spread obligasi pemerintah Indonesia dan AS agar tetap menarik. Peningkatan suku bunga tentu perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, jangan sampai memperlambat perekonomian domestik serta mencermati kesiapan perbankan terutama kebijakan restrukturisasi kredit yang telah berakhir di Maret 2024,” tulis LPEM FEB UI.
Artikel Selanjutnya
Ramalan Terbaru! Ekonomi AS & India Cerah, China Suram
(arm/mij)